Selasa, 10 April 2012

Tradisi Merantau dan Pulang Kampung (Studi Keluarga Perantau Bukittinggi, Sumatera Barat)

Intisari
Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Minangkabau masuk ke dalam propinsi Sumatera Barat. Banyak terdapat budaya-budaya yang ada pada masyarakat Minangkabau sendiri. Budaya-budaya tersebut antara lain merantau, pulang kampuang basamo, menggaleh, dan sebagainya. Dalam paper ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai budaya merantau dan pulang kampung dalam keluarga yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat. Dalam penelitian ini saya menggunakan metode kualitatif atau lebih tepatnya metode wawancara. Merantau merupakan suatu budaya yang identik dengan masyarakat Minangkabau. Hampir di seluruh penjuru dunia merupakan tujuan rantau mereka. Meskipun mereka banyak yang sukses di tanah rantau, pastilah mereka tidak akan lupa dengan kampung halamannya. Dengan masa tertentu banyak dari mereka yang melakukan pulang kampung bersama.
Kata kunci: Merantau, Pulang Kampung

Pendahuluan
Merantau berarti migrasi, tetapi merantau adalah tipe khusus dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa barat manapun. Merantau merupakan istilah Melayu, Indonesia, dan Minangkabau yang sama arti dan pemakaiannya dengan akar kata rantau.
Suatu ciri atau yang dengan mudah ditandai dan dilihat yang merupakan ciri dari etnis Minang adalah bahwa etnis ini dikaruniai bakat perantau yang ulung. Mereka terkenal dengan daya membaurnya yang tinggi, mampu beradaptasi dengan cepat dengan lingkungannya. Di seantero negeri ini, kita tidak pernah mendengar adanya Kampung Padang atau Kampung Minang. Hal ini dikarenakan mereka bukanlah etnis yang mengeklusifkan diri, tetapi tetap ekslusif unik. Kegiatan yang mereka pilih umumnya adalah di bidang jasa yang dibutuhkan orang banyak. Kalau membuka usaha, adalah usaha yang memang dibutuhkan orang banyak seperti rumah makan, tukang jahit, fotokopi, kelontong, toko buku atau dakwah. Daerah Minangkabau sebagai daerah teritorial kultur Minangkabau meliputi hampir tiga propinsi yaitu Propinsi Sumatera Barat, sebagian dari Propinsi Jambi, dan Propinsi Riau bagian daratan.
Semangat kerukunan yang bermuara dari bakat daya baur antar etnis ini yang diajarkan oleh adat dan budayanya “di mano bumi dipijak di sinan langit dijunjuang” ( dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung) dikaitkan dengan “kalau buyuang pai marantau induak cari dunsasanak cari, induak samang cari dahulu” (kalau buyung pergi merantau cari orang tua (dituakan), cari saudara, terlebih dahulu mencari induk semang) artinya adalah “sandaran” atau landasan berpijak di daerah baru yang perlu dicari dan dikokohkan lebih dahulu. Ini adalah ajaran turun-temurun yang mendarah daging, terbukti, dan teruji mempunyai nilai yang sangat tinggi yang makin dirasakan saat ini.
Suatu efek merantau bagi etnis Minang, semula menurut Mochtar Naim merupakan “klep” yang mengatur tata keseimbangan (teori ekuilibrium) penduduk. Orang-orang tergerak untuk merantau bila keseimbangan antara faktor-faktor demografi dan ekonomi terganggu. Dengan demikian merantau menumbuhkan efek penawar dengan memberikan jalan kepada penduduk “redual” untuk mencari hidup di tempat lain.
Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat pada ranah asalnya.
Ciri dari etnis Minang lainnya yang menonjol adalah budaya Menggaleh, budaya berdagang. Walaupun tidak sedikit urang Minang yang bekerja di pemerintahan, mempunyai profesi lainnya yang cukup banyak jumlahnya dan berhasil, tetap saja yang menonjol atau dikenal umum itu adalah profesi dagangnya. Bahkan karena keuletannya sampai diberi julukan “yang mampu menyaingi orang Cina” dan bahkan diberi gelar sebagai “Minankiaw”. Menurut kebanyakan orang Minang faktor ekonomilah yang mempengaruhi mereka untuk merantau
Naim (di Richmond, 1976:150) mendefinisikan merantau: “Leaving one’s cultural territory voluntarily whether for a short or long time, with the aim of earning a living or seeking further knowledge or experince, normally with the intention of returning home.”[1] Mayoritas perantau itu berumur rata-rata 35 tahun untuk laki-laki dan 28 tahun untuk perempuan.
Migrasi masyarakat Minangkabau atau merantau adalah perpindahan tradisional, institusional dan normatif (Provencher, 1976; Naim, 1978)[2]. Perpindahan ini ada hubungannya dengan siklus kehidupan dan setiap perpindahan tidak berarti merupakan komitmen untuk berdiam seterus-terusnya di daerah rantau tertentu. Kato (1982:82) menemukan adanya suatu perubahan besar dalam tradisi merantau setelah Perang Dunia II. Setelah perang, merantau secara eksklusif terkait dengan keluarga inti. Pola merantau dengan meninggalkan daerah asalnya dengan mengajak keluarga, atau seorang suami pergi merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan isteri dan anak-anaknya (Kato 1982:30). Pola merantau ini di kalangan orang Cina dikenal dengan sebutan “rantau Cina” (rantau Cino)[3]. Kaum perantau Minangkabau ini cenderung tinggal lebih lama dan untuk mendapatkan kehidupan lebih mapan, ketimbang mereka yang merantau sebelum 1950. Mereka kembali menjenguk desanya sekali atau dua kali setahun.
Dalam kedua pola migrasi itu, sebelum dan sesudah 1950, suku bangsa Minangkabau selalu memakai kesempatan pulang kampung untuk memamerkan kekayaan, pengetahuan, dan prestige. Perubahan dan kebertahanan dari tradisi merantau Minangkabau harus dimengerti dalam pandangan dunia Minangkabau (Alam Minangkabau). Fungsi dari Alam Minangkabau sendiri adalah untuk memperkaya dan menguatkan alam Mianagkabau, ini merupakan dasar dari misi budaya yang menggerakkan orang Minangkabau untuk merantau.

Orang Minangkabau mendorong kaum muda untuk merantau, namun ketika mereka kembali ke daerah rantau atau pulang ke kampung halaman, mereka harus membawa sesuatu, harta, atau pengetahuan, sebagai simbol berhasilnya misi mereka. Kalau tidak, maka mereka tidak akan diterima oleh sesama orang kampung, mereka dianggap telah gagal menjalankan misinya. Tidak ada muka manis bagi perantau yang gagal. Mereka harus kembali lagi ke daerah rantau dan berusaha lagi atau larut di rantau atau tidak usah pulang (laruit di rantau urang). Inilah salah satu penyebab dari rantau Cino (migrasi permanen) oleh sebagian masyarakat Minangkabau. Pada tipe rantau sebelumnya yang berlangsung sampai puluhan ke dua atau tiga abad ini, orang-orang muda pergi merantau, namun beberapa waktu kemudian kembali ke kampung. Kampung bagi mereka tetap merupakan basis, sedang merantau berarti perulangan dalam mencari rejeki ke luar daerah.
            Sebuah ciri penting yang perlu dicatat dalam hal merantau orang Minangkabau sekarang dalam aspek okupasi adalah bahwa walaupun mereka semua berasal dari keluarga petani di desa-desa di Sumatera Barat namun kenyataannya di rantau yang baru tidak satupun di antara mereka yang memegang pekerjaan yang sama dengan yang sebelumnya di kampung mereka. Bagi orang Minangkabau tanah adalah yang terakhir yang mereka pikirkan, yang mungkin selalu dipikirkan oleh mereka di rantau adalah bagaimana membeli sebidang tanah di kampung atau menebus sawah yang tergadai untuk ibu dan saudara perempuan mereka segera setelah sanggup mengumpulkan uang dari pekerjaan di rantau. Lebih singkatnya adalah orang Minangkabau selalu berpikir balik ke kampung dan memanfaatkan pergi merantau sebagai alat untuk penunjang dan memantapkan kehidupan di kampung.
            Budaya merantau sendiri tentunya disebabkan oleh adanya bermacam-macam faktor pendorong. Faktor pendorong merantau dalam masyarakat Minangkabau sendiri yaitu:
a.       Faktor-faktor fisik: Ekologi dan Lokal
Dilihat dari segi ekologinya bentuk fisik pedalaman Sumatera Barat yang terletak di sepanjang pegunungan Bukit Barisan yang subur. Letak ini sangat cocok untuk pertanian dan orang Minangkabau telah mengembangkan keterampilannya dalam bidang pertanian. Hal tersebut dapat dilihat bahwa 25% dari penduduk kota di Sumatera Barat masih bekerja di bidang ini. Akan tetapi, karena bertambahnya populasi manusia diperkirakan tanah yang tersedia tidak akan cukup untuk memberi hidup orang yang jumlahnya selalu bertambah, maka dari itu dorongan untuk merantau menjadi semakin kuat. Menurut lokasinya sendiri, Minangkabau adalah daerah yang terpencil (di luar pusat kegiatan perdagangan dan politik). Keadaan ini menyebabkan dunia luar tidak mendatangi Minangkabau tapi orang Minangkabau yang harus pergi ke dunia luar.
b.      Faktor ekonomi dan demografi
Faktor ini mempunyai hubungan dengan faktor sebelumnya, dorongan merantau karena faktor ekonomi disebabkan oleh adanya lahan pertanian yang sudah tidak banyak lagi untuk mencukupi masyarakat yang tambah banyak. Salah satu di antara alasan primordial untuk pergi merantau adalah perjuangan ekonomi ini. Dorongan untuk merantau karena alasan ekonomi tentu saja akan lebih kuat terasa bila sawah tidak lagi mencukupi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, dapat dikatakan bahwa kurangnya sarana kehidupan yang terdapat di Sumatera Baratlah yang mendesak penduduknya merantau, oleh karena sarana kehidupan di rantau lebih mudah didapat.
c.       Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong yang penting pergi merantau, terutama semenjak berkembangnya sekolah-sekolah sejak bagian pertama abad ini. Merantau dengan tujuan mencari pendidikan selalu akan terbatas pada segolongan kelompok saja. Meskipun terbatas hanya pada golongan tertentu, faktor ini menjadi faktor pendorong yang mampu merangsang lainnya, seperti pelajar yang merantau membukakan jalan untuk pelajar berikutnya. Sebenarnya konsep asli dari merantau itu sendiri adalah mencari ilmu dan pengalaman untuk mempersiapkan diri untuk dapat hidup berguna di kampung nanti sesudah kembali dari rantau. Faktor ini mulai terasa sejak 1920-an, tapi mulai menurun pada tahun 1960-an disebabkan dengan membaiknya fasilitas pendidikan di Sumatera Barat sendiri.
d.      Daya Tarik Kota
Daya tarik kota, juga merupakan faktor pendorong merantau karena di kota segala ide kemajuan dilaksanakan dan kesempatan kerja banyak disana. Selain dirasakan oleh golongan pelajar, daya tarik ini juga dirasakan oleh para pedagang. Hal tersebut disebabkan pusat-pusat kota pasarnya selalu buka tiap hari dan jual-beli sering terjadi tidak seperti di desa. Daya tarik kota ini baru dirasakan setelah 1930-an dan puncaknya pada tahun 1950-an.
e.       Faktor Keresahan Politik
Faktor keresahan politik terjadi dua kali di Sumatera Barat dan itu menyebabkan migrasi masyarakat lokal. Pertama semasa pemberontakan komunis di akhir 1920-an dan kedua selama pergolakan daerah (PRRI) di akhir 1950-an yang menyebabkan eksodus besar-besaran ke kota-kota besar.
f.        Faktor Sosial
Faktor sosial ini dapat dikatakan bahwa pada mulanya merantau itu disebabkan adanya kebutuhan untuk mencari tanah baru diluar perkampungan sendiri yang membuat kaum pria meninggalkan keluarganya dalam jangka waktu tertentu. Seiring berjalannya waktu, pengertian merantau sekarang bukan lagi perluasan wilayah, tetapi berdagang dan mencari kehidupan baru di kota-kota perantauan. 
g.       Arus baru
Dalam hal ini arus baru digambarkan dengan kehidupan masyarakat yang tinggal di perantauan. Mereka hidup dengan mengikuti adat rantau, dimana suami istri bersama-sama mengatur rumah tangga, menanggalkan sikap matrilinealnya.

Latar Belakang Masalah
Seberapa jauh faktor yang mempengaruhi budaya Minangkabau dalam kebiasaannya merantau.
Tujuan Penelitian
            Tujuan penelitian secara umum ini adalah untuk melengkapi tugas akhir mata kuliah etnografi Minangkabau. Selain itu, tujuan secara khusus penelitian ini untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi budaya suku bangsa Minangkabau untuk lebih memilih merantau daripada memilih berdomisili di tanah kelahirannya.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data baik data sekunder maupun primer. Untuk data primer didapat melalui interview dan data sekunder didapat dari data yang telah ada yaitu studi pustaka.
Pembahasan
Untuk menunjang data dalam paper ini maka saya mencoba untuk mewawancarai orang Sumatera Barat lebih tepatnya kota Bukittinggi. Kota Bukittinggi saat ini mempunyai luas  +  25.239 km­­­­­­­­­ 2 terletak ditengah-tengah Propinsi Sumatera Barat dengan ketinggian antara 909 M – 941 M diatas permukaan laut. Suhu udara berkisar 17, 1o­­­­­­­­­­ C sampai 24,9o C, merupakan iklim udara yang sejuk. Posisinya yang strategis merupakan segitiga perlintasan menuju ke utara , timur dan selatan Sumatera. Topografi kota yang berbukit dan berlembah dengan panorama alam yang elek serta dikelilingi oleh tiga gunung, Merapi, Singgalang dan Sago seakan menjadi tonggak penyangga untuk memperkokoh Bukittinggi. Inilah yang menyebabkan Bukittinggi disebut juga sebagai “ Kota Tri Arga”. Kota Bukittinggi saat ini terdiri atas 3 kecamatan dengan 24 kelurahan.
Bukittinggi akan mengadakan perubahan batas wilayah, dengan memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Agam ke dalam wilayah kota Bukittinggi, sehingga nantinya kota Bukittinggi mempunyai luas 145,299 km2 yang terdiri dari 7 kecamatan dan 58 kelurahan/desa dengan jumlah penduduk 175.452 jiwa. Kota bukittingi berbatasan dengan kecamatan dalam wilayah Kabupaten Agam, yaitu :
  • Sebelah Utara dengan Kecamatan Tilatang Agam
  • Sebelah Selatan dengan Banuhampu Sungai Puar
  • Sebelah Barat dengan IV Koto
  • Sebelah Timur dengan IV Angkat Candung
Sebagian besar penduduk kota Bukittinggi beragama Islam sekitar 97,89 % dan selebihnya beragama Katolik, Protestan, Budha dan Hindu. Penduduk terpadat berdomisili di kecamatan Guguk Panjang, karena pusat perdagangan dan kegiatan laian sebagian besar berada di kecamatan tersebut dengan kepadatan rata-rata 5.531 jiwa/km.
Pertama saya akan menjelaskan tentang budaya merantau yang ada di dalam keluarga tersebut. Informan saya ini tidak lain adalah teman SMA saya sendiri. Di keluarga teman saya ini yang berasal dari Bukittinggi adalah ayahnya, yang bernama Herman Gazali. Untuk hal nama keluarga, setelah saya tanyakan ternyata teman saya kurang tahu dengan nama keluarganya. Akan tetapi, saya diberikan silsilah nenek moyang keluarganya yang ada di kampung halamannya. Di sini saya akan mencoba menjelaskan sejarah nenek moyangnya bernama Tjoa Kim Lie, yang berasal dari propinsi Hokkian, Tiongkok. Pada saat beranjak dewasa dia memilih hidup merantau dari pada disuruh mengolah sawahnya di desanya. Sebagai langkah awal perantauannya Tjoa Kim Lie memilih merantau ke pulau Bangka. Pada saat di tanah rantau tersebut dia bertemu dengan seorang dara asal Pariaman yang bernama Tjioe Soan Nio. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk merantau ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Di Bukittinggi Tjoa Kim Lie memulai karirnya sebagai seorang anemer pembangunan jalan Bukittinggi – Padang dan Bukittinggi – Lubuk Sikaping. Disamping sebagai anemer pembangunan jalan, Tjoa Kim Lie memanfaatkan sisa waktu yang ada, sebagai leverensir. Rupanya selama menjadi leverensir, Tjoa Kim Lie melihat peluang baru yang lebih menjanjikan yaitu berdagang hasil bumi, antara lain: Kasiavera/kulit manis, cengkeh, damar, karet, dan biji pala.
Tjoa Kim Lie pernah pulang ke kampung halamannya di Tiongkok. Hal ini terjadi ketika lahir anak ke lima, itu pun karena janji Tjoa Kim Lie yang apabila lahir seorang anak laki-laki maka Tjoa Kim Lie akan pulang ke kampungnya, hal itu disebabkan anak pertama hingga keempat Tjoa Kim Lie perempuan semua. Sekembalinya dari Tiongkok, Tjoa Kim Lie melanjutkan usaha berdagangnya. Dengan perdagangan yang maju, anak, menantu, dan cucu yang bertambah terus maka diawal abad ke 19, Tjoa Kim Lie membangun sebuah “Rumah Gadang” di Jalan Ahmad Yani No. 78, Bukittinggi sebagai “Rumah Keluarga Besar Tjoa Kim Lie” dan membentuk suatu ikatan keluarga yang bernama keluarga “Agam”.
 Ayah teman saya dulu merantau pada tahun 1970-an atau setelah lulus SLTA, beliau merantau sendiri. Kota tujuan rantau beliau adalah Jakarta, meskipun beliau merantau sendiri, namun di Jakarta ada saudara-saudara yang dituju untuk mencari link atau informasi dalam hal mencari pekerjaan. Pekerjaan pertama beliau di tanah rantau adalah kerja serabutan seperti menjadi sopir, bantu-bantu di rumah makan, dan sebagainya. Dalam ranah rantau itu beliau menemukan tambatan hatinya yaitu bernama ibu Suyatini yang ternyata sama-sama merantau, namun ibu Suyatini berasal dari Jogjakarta. Setelah menikah mereka tinggal di Jakarta selama 12 tahun. Mereka mencoba untuk membuka usaha pertamanya yaitu mie ayam di Jakarta selama 6 tahun. Pada saat lahir anak ketiga mereka memutuskan untuk kembali ke Jogjakarta. Di sini mereka kembali membuka usaha yaitu rumah makan Padang yang terletak di depan Grahsia Pakem. Selain bapaknya teman saya dalam anggota keluarganya juga melakukan hal yang sama yakni merantau seperti yang dilakukan oleh kerabat-kerabatnya ke daerah tujuan rantau lainnya seperti Padang dan Palembang.
Dalam hal pulang kampung menurut informan saya pada saat pulang kampung biasanya ada proses penyambutan yaitu dengan acara makan-makan bersama dengan keluarga besar, hal itu dilakukan apabila ada rejeki yang lebih. Akan tetapi, apabila tidak ada rejeki lebih pulang kampung tidak ada acara penyambutan atau dengan kata lain pulang kampung seperti biasa. Di keluarga informan saya pada saat pulang kampung ke Bukittinggi semua anggota keluarga diajak. Berhubung ayah dari teman saya sudah meninggal jadi keluarganya baru sekali pulang kampung. Meskipun demikian, hasrat atau keinginan untuk pulang kampung masih sangat ingin dilakukan oleh informan saya. Hal tersebut menurut informan saya dilatar belakangi oleh kampung halaman dimana kotanya yang nyaman dengan suasana yang sejuk, perempuan yang putih-putih, namun kebutuhan sehari-hari disana lebih mahal daripada di Jawa.

Kesimpulan
Merantau seperti yang sudah diutarakan di dalam bab sebelumnya yang memiliki arti migrasi yang identik dengan masyarakat minangkabau. Masyarakat Minangkabau terkenal sebagai perantau yang ulung. Kota tujuan rantau adalah di kota-kota besar. Setelah berada di tanah rantau, tentu kerinduan yang ada di dalam orang Minangkabau yang merantau. Rasa tersebut menimbulkan budaya baru yang disebut pulang kampung bersama. Pulang kampung tanpa membawa hasil dari tanah rantau tentunya bisa dianggap mereka gagal dalam rantauannya. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa seseorang yang gagal dalam rantauannya harus kembali ke tanah rantaunya atau larut ke dalam masyarakat rantaunya. Akan tetapi, menurut saya hal ini sudah jarang diterapkan pada masa sekarang.
Untuk mengetahui budaya merantau, saya mencoba untuk mendapatkan data primer dengan cara mewawancarai salah satu orang Minangkabau atau lebih tepatnya orang Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayah informan saya tersebut juga melakukan budaya merantau seperti orang-orang Minangkabau lainnya pada saat remaja. Kota tujuan rantau beliau adalah Jakarta. Selain dikenal sebagai perantau yang ulung, orang Minangkabau juga dikenal mempunyai etos kerja yang tinggi dan ulet. Hal tersebut dapat digambarkan dengan ayah informan saya yang pada saat merantau dia bekerja serabutan. Setelah bekerja serabutan dan memiliki istri, beliau mencoba untuk membuka usaha di tanah rantaunya dan ternyata berhasil hingga beliau memutuskan untuk berpindah ke kota istrinya di Jogjakarta.
Pulang kampung menurut pandangan informan saya adalah dimana kita pulang ke kampung halaman bersama keluarga besar lainnya. Setelah sampai di kampung halamannya, maka akan diadakan acara penyambutan bagi mereka yaitu dengan bentuk makan-makan bersama. Akan tetapi, acara penyambutan tersebut hanya diadakan ketika mempunyai rejeki yang lebih, ketika tidak maka pulang kampung hanya sekedar kumpul-kumpul dengan keluarga lainnya.

Kepustakaan:

Sumber dari buku:
Latief, N, CH, Bandoro, DT.2002. Etnis dan Adat Minangkabau, Permasalahan dan Hari Depannya. Angkasa: Bandung.
Murad, Auda.1980. Merantau: Outmigration in a Matrilinieal Society of West Sumatra. Australian National University: Canberra
Pelly, Usman.1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Pustaka LP3ES: Jakarta
Naim, Mochtar.1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.
Hakimy, Idrus.1978. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. PT Remaja Rosdakarya: Bandung
Anan, Gusti, 2005, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah,
Akiko Iwata Balai Pustaka, Jakarta.
Naim, Mochtar, 1973, Perkembangan Kota-Kota di Sumatra Barat, Prisma,
Padang.
Delly, H.S.M, dkk.1993. Pembinaan budaya dalam lingkunan keluarga di
daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Komunikasi Personal:
Rudiyanto (Wawancara pada tanggal 5 Januari 2012)
Sumber Elektronik/Online:
http://www.bukittinggikota.go.id/
Diunduh pada tanggal 17 Januari 2012, pukul 19.22 WIB



[1] Dikutip dari buku Merantau: Outmigration in a Matrilinieal Society of West Sumatra
[2] Dikutip dari buku Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing hal. 8
[3] Dikutip dari buku Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing hal. 9