Jumat, 23 Maret 2012

Pendidikan Bagi Masyarakat Pesisir (Desa Bulu, Tuban)

Pendahuluan
    Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.508 dan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 Km (DKP, 2008). Keadaan ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Akan tetapi, yang menjadi hambatan dalam pengembangan potensi ekonomi adalah dalam hal rendahnya pendidikan yang ada pada masyarakat pesisir laut.
    Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah antropologi kependudukan. Selain itu, saya sendiri tertarik untuk mengetahui pola pendidikan pada masyarakat pesisir. Hal ini dapat kita soroti bagaimana pendidikan yang ada pada masyarakat pesisir mayoritas masih kurang, tentunya itu menyebabkan kualitas sumber daya manusia yang kurang begitu bagus. Maka dari itu saya mencoba menjelaskannya di paper ini.
Pembahasan
·                  Demografi Daerah Bulu
Bulu merupakan daerah pesisir yang terletak di sebelah barat perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur atau lebih tepatnya berada di Kabupaten Tuban. Daerah Bulu dengan kondisi geografis utara laut dan sisi selatan daerah persawahan. Kondisi geografis ini memacu masyarakat untuk berinisiatif memanfaatkan sumber daya alam dengan pengelolaan laut dan persawahan. Pada daerah laut masyarakat Bulu bermata pencaharian  sebagai nelayan dan peternak udang, hampir kurang lebih 75% masyarakat Bulu bermata pencaharian sebagai nelayan. Di sisi lain pada pemanfaatan hasil laut selain mata pencaharian nelayan juga sebagai pengusaha ikan, yaitu dengan pengolahan ikan kering atau ikan asap dan pengemasan ikan.
Di sisi kawasan Bulu bagian selatan masyarakatnya memanfaatkan sebagai lahan pertanian. Kondisi geografis dengan daerah dataran rendah menjadikan masyarakat memanfaatkan daerah selatan sebagai daerah persawahan (daerah dengan tangkapan air yang tinggi) sehingga masyarakat memanfaatkan lahannya untuk menanam padi. Kebanyakan dari masyarakat mengisi rutinitasnya dengan menyibukkan dirinya di dua bidang pekerjaan yaitu sore hari dengan melaut dan pada pagi hari dengan beternak dan bertani.
Siklus kehidupan masyarakat Bulu setiap harinya hampir 95% melakukan rutinitas seperti keterangan di atas. Hal ini akan menghambat informasi dari luar untuk masuk ke dalam. Budaya masyarakat seperti itu dan dipengaruhi oleh kuatnya faktor agama di daerah pesisir menjadi salah satu penyabab tingkat kelahiran yang besar sehinga daerah Bulu dapat dikatakan sebagai daerah padat penduduk. Hal ini dapat dibuktikkan dengan jumlah rata-rata satu KK teridir dari 5-6 orang (ayah, ibu, dan anak-anak). Tentunya hal tersebut akan menjadi kendala ketika keseimbangan ekonomi dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Dalam bab ini yang akan dibahas program MDG’s pada sub pendidikan akan menjadi menarik ketika diinterpretasikan pada budaya pesisisr.
Seperti yang sudah dibahas di atas daerah Bulu yang merupakan daerah padat penduduk dengan rutinitas kesibukan yang monoton menjadikan daerah tersebut dengan tata letak wilayah yang tepat sehingga jarang terdapat lahan kosong atau ada kawasan perkampungannya. Kawasan yang padat penduduk dengan rutinitas yang sama menjadikan daerah tersebut sebagai daerah dengan masalah yang kompleks. Permasalahan yang sedikit akan menyebar secara cepat, hambatan informasi dari luar untuk masuk ke dalam mengakibatkan isu konflik yang berkepanjangan yang dalam hal ini adalah masalah antar keluarga. Kurangnya pengetahuan dan minimnya pendidikan yang ada di desa menjadikan keributan sebagai solusi atas keributan yang terjadi. Padatnya penduduk masyarakat pesisir secara tidak langsung mempengaruhi emosi masyarakat secara cepat. Hal ini di sisi positif masyarakat akan mudah dipengaruhi oleh satu isu atau satu figur yang mempunyai tingkat kepercayaan tinggi oleh mereka, sehingga isu-isu positif maupun negatif akan secara cepat menyebar pada kehidupan masyarakat pesisir, hal ini tergantung pada media yang akan mengarahkan isu-isu tersebut (tokoh masyarakat).
Kebiasaan keluarga masyarakat pesisir digambarkan seorang kepala rumah tangga akan banyak mengisi kesibukannya setiap hari dengan melaut dan bertani sedangkan seorang ibu rata-rata menjadi ibu rumah tangga dan rata-rata anak-anaknya dengan umur 17 tahun ke atas dia akan ikut melaut keluarganya dan 17 tahun ke bawah akan mengisi kesibukannya dengan bersekolah dan bermain. Minimnya perkembangan perekonomian di daerah pesisir yang menjadi salah satu alasan yang menjadi pemicu kebiasaan keluarga seperti diatas.
·         Pendidikan Masyarakat Pesisir
            Pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian penting dalam masyarakat yang pada hal ini sesuai dengan tujuan Millenium Development Goal’s adalah satu program yang seharusnya diprioritaskan pada masyarakat pesisir, namun hal ini yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai tuban menjadi tujuan sampingan yang ada pada pola atau pemikiran masing-masing keluarga, hal ini terbukti dengan tingkat pendidikan yang rendah, rata rata tingkat pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai batas SMP atau SMA saja. Hal ini dipengaruhi dengan beberapa faktor diantaranya yaitu, faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor keluarga
Ø  Faktor ekonomi.
Kurangnya informasi dan anggapan penting pengetahuan menjadikan pola ekonomi masyarakat pesisir yang stagnan (tetap pada posisi), sehingga perkembangan ekonomi masyarakat pesisir juga kurang berkembang, cara mendapatkan penghasilan yang singkat yang dalam hal ini adalah sebagai seorang nelayan, (untuk mendapatkan penghasilan tanpa harus membutuhkan ijazah atau legalitas dari akademika) dan penghasilan yang selalu digantungkan setiap hari, sehingga mempengaruhi pola keluarga dalam mengatur keuangan keluarga secara sederhana (satu hari dapat satu hari habis) hal ini karena pola pemikiran kekayaaan laut yang masih tersedia setiap hari. Pola tersebut sehingga susah untuk dikembangkan secara jangka panjang atau diinvestasikan. Dengan pola seperti diatas kebutuhan pokok akan pengeluaran keuangan lebih dipentingkan kebutuhan pokok/sampingan keluarga (properti) di banding dengan kebutuhan pendidikan, kurang pentingnya anggapan pendidikan juga dipengaruhi dengan masa depan pekerjaan yang sudah pasti bagi pandangan masyarakat pesisir (bekerja sebagai seorang nelayan), selain hal tersebut, kurangnya perkembangan ekonomi keluarga juga memicu anak-anak untuk mandiri dalam mendapatkan hasil keuangan dibandingkan dengan pentingnya pendidikan.
Ø  Faktor Lingkungan
Dalam bagian ini akan diuraikan sedikit tentang pengaruh lingkungan terhadap pendidikan masyarakat pesisir. Dunia pendidikan yang banyak dialami pada anak-anak menjadi fenomena terbalik ketika dihadapkan pada masyarakat pesisir. Lingkungan masyarakat yang sudah mengenalkan cara mendapatkan uang dengan mudah bahkan anak-anak pun ikut andil dengan mudah untuk mendapatkannya, merubah perilaku anak-anak yang seharusnya mengemban dunia pendidikan di balikan menjadi perilaku selayaknya orang dewasa pada umumnya, hal ini dipacu dengan kemampuan mereka untuk menghasilkan uang sendiri. Sehingga pada hal ini lingkungan anak-anak lebih terbiasa untuk melakukan perilaku orang dewasa. Pola seperti ini mengarahkan anak anak untuk mengisi kesibukanya dengan kegiatan kegiatan orang dewasa dari pada mengisi keseharianya dengan menemban pendidikan. Lebih frontalnya kebiasaan kebiasaaan orang dewasa yang belum bisa di saring oleh anak-anak juga akan mempengaruhi mereka untuk bertindak kriminal.
Ø  Faktor Keluarga
Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana kurang pentingnya peran keluarga dalam melihat pendidikan sebagai hal penting terhadap masa depan anaknya. Di dalam masyarakat pesisir, orang tua menganggap pendidikan itu kurang penting. Hal ini dapat dilihat ketika anak-anak yang sudah menginjak usia produktif atau 17 tahun ke atas banyak yang disuruh untuk bekerja ketimbang melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pandang orang tua yang secara turun-temurun yang lebih mementingkan mencari uang. Selain itu, faktor ekonomi yang pas-pasan membuat orang tua pikir-pikir dalam hal menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Kawasan pesisir seharusnya menjadi andalan sumber pendapatan masyarakat Indonesia. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi, maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Akan tetapi, yang menjadi hambatan dalam pengembangan potensi ekonomi adalah dalam hal keterbatasannya sumber daya manusia yang ada di sana. Hal ini disebabkan oleh kurangnya antusiasme masyarakat pesisir terhadap pendidikan (dalam hal ini untuk mengembangkan pengetahuan mereka).
Pendidikan yang seharusnya menjadi perhatian penting dalam masyarakat yang pada hal ini sesuai dengan tujuan Millenium Development Goal’s adalah satu program yang seharusnya diprioritaskan pada masyarakat pesisir, namun hal ini yang terjadi pada masyarakat pesisir pantai Tuban khususnya daerah Bulu menjadi tujuan sampingan yang ada pada pola atau pemikiran masing-masing keluarga yang ada di pesisir. Hal ini dipengaruhi dengan beberapa faktor diantaranya yaitu, faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor keluarga yang kurang mendukung.

0 komentar:

Posting Komentar